Jumat, 04 Juli 2014

Cerpen : Elegi

Diposting oleh Unknown di 21.38
Aku tak sabar menanti hari keenam di bulan Januari. Ya, ada peristiwa sangat penting yang terbungkus dalam hari itu.
Empat puluh tujuh tahun yang lalu, tepatnya hari keenam di bulan Januari, ayahku terlahir didunia. Hihi, aku jadi tak sabar menghitung hari.
Semua orang, Ibu, Kakak, dan aku telah menyiapkan kado dan serangkaian kejutan untuk menyambut ayah pada hari itu. semua sangat menanti hari ini. Tak lain karena, ulang tahun ayah tak pernah dirayakan sekalipun sebelumnya. Padahal ia bekerja keras untuk kita semua sejak dulu. Sepantasnya ayah mendapat sedikit kebahagiaan di hari istimewanya.
“Bu, semua udah siap kan buat besok?” sembari bersantai aku menghampiri ibuku yang sedang memasak. Memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
“sudah tuh, bahan masakannya udah dimasukin ke kulkas. Kadonya juga udah rapi kan.” Ibuku melanjutkan masakanya. “La, tolong ambilkan piring di rak.”
Jadi, topik hari ini yang terus menerus dibicarakan ibu dan kakakku adalah rencana kejutan ulangtahun Ayah. Seperti tiada habisnya. Hah, aku jadi tak sabar melihat respon ayah ketika mendapat kejutan ini.
Dan, hari ini, tertanggal 6 Januari 2014, hari yang kami semua nantikan. Seperti biasa, ayah berangkat kerja sambil mengantarku dan kakak ke sekolah. Ibu tetap tinggal di rumah. Selama perjalanan ke sekolah, aku dn kakakku tak henti-hentinya menahan senyum berlebihan kami.
“kenapa kalian senyum-senyum terus begitu?” tanya ayah dari balik kemudi. Aku dan kakakku diam sejenak.
“ah ayah, ini sih urusan anak muda.” Kami lalu tertawa kecil. Ayah hanya memperhatikan dengan aneh. Bingung akan tingkah kami.
Ah, ayah. Dia tak menyangka apa yang akan menimpanya hari ini.
***
“Ibu, sudah masak sayur sop?” Ibu hanya mengangguk lucu.
Dengan tergesa aku berlarian ke dapur dan memastikan semuanya siap. Mengecek makanan yang telah dimasak oleh ibu (kesemuanya adalah masakan favorit ayah), menata ruangan. Menyiapkan kado-kado.
Ayah akan pulang jam 04.00 seperti biasa. Tapi waktu serasa lebih lama dari biasanya. Aku telah bersiap dan wangi. Begitu juga ibu dan kakak. Kami memakai baju terbaik kami dan duduk di sofa ruang tamu dengan manisnya menunggu kepulangan ayah.
Jam dinding telah menunjuk angka 04.00 dengan angkuhnya. Tetapi deru mobil ayah tak kedengaran. Kami masih menanti di ruang tamu. Mungkin ayah terjebak macet.
Menit demi menit telah berjalan. Tapi tanda-tanda kepulangan ayah tak tampak sama sekali. Ibu sangat khawatir sekali. Terlebih waktu telah menunjukkan pukul 05.45 dan kami sudah bosan duduk dengan manis di sofa.
Apakah ayah pulang larut malam hari ini?
Sekarang, matahari telah berpaling. Senja. Ibu bertambah khawatir. Berulangkali beliau menelfon ayah tapi selalu tak ada hasil. Barangkali ayah sedang dalam perjalanan, jadi tak mendengar dering telepon, pikirku positif.
Sekian lama, ayah seperti menghilang. Aku dan kakakku sudah tak tahan duduk di sofa. Kami semua berjalan mondar-mandir sepanjang ruangan. Memikirkan alasan logis kenapa ayah tidak pulang tepat waktu malam ini.
Selama kami mondar-mandir, tiba-tiba pintu diketuk. Itu pasti ayah!
Kami semua seketika gembira. Ibu lalu bersiap-siap membuka pintu sementara aku dan kakakku menyanyikan lagu ulangtahun.
CKLEK! Seketika lagu ulangtahun mengalir riang dari bibirku dan kakakku. Dan ketika aku membuka mataku, yang kulihat bukan sosok ayah. Lagu ulangtahun yang kami nyanyikan seketika lenyap.
Di depan kami bukanlah ayah. Dia lelaki berseragam polisi. Ada apa seorang polisi ke rumahku?
“ini benar rumah Bapak Santoso?” tanya polisi itu ramah. Tapi jelas, dari nada suaranya polisi itu sangat letih.
“iya, saya istrinya.” Ibuku angkat bicara. Aku dan kakakku hanya terdiam.
“ibu, saya ingin memberitahu perihal penting tentang Bapak Santoso.” Polisi itu kelihatan sedikit gelisah.
“iya?” kami bertiga menyahut serempak dengan muka bertambah bingung.
“Bapak Santoso mengalami kecelakaan di tol. Dan meninggal dunia. Jenazahnya masih di RSU. Mohon kalian semua ikut kami.”
Seketika kami semua tercekat dan lemas. Ibuku tak sadarkan diri. Kami semua kebingungan.
Oh, ayah. Inikah yang terjadi padamu hari ini...                 

*The End*

By : Firdinny Nurun Hapsari

0 komentar:

Posting Komentar

 

Firdinny Hapsari Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos