Aku
tak sabar menanti hari keenam di bulan Januari. Ya, ada peristiwa sangat
penting yang terbungkus dalam hari itu.
Empat
puluh tujuh tahun yang lalu, tepatnya hari keenam di bulan Januari, ayahku
terlahir didunia. Hihi, aku jadi tak sabar menghitung hari.
Semua
orang, Ibu, Kakak, dan aku telah menyiapkan kado dan serangkaian kejutan untuk
menyambut ayah pada hari itu. semua sangat menanti hari ini. Tak lain karena,
ulang tahun ayah tak pernah dirayakan sekalipun sebelumnya. Padahal ia bekerja
keras untuk kita semua sejak dulu. Sepantasnya ayah mendapat sedikit
kebahagiaan di hari istimewanya.
“Bu,
semua udah siap kan buat besok?” sembari bersantai aku menghampiri ibuku yang
sedang memasak. Memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
“sudah
tuh, bahan masakannya udah dimasukin ke kulkas. Kadonya juga udah rapi kan.”
Ibuku melanjutkan masakanya. “La, tolong ambilkan piring di rak.”
Jadi,
topik hari ini yang terus menerus dibicarakan ibu dan kakakku adalah rencana
kejutan ulangtahun Ayah. Seperti tiada habisnya. Hah, aku jadi tak sabar
melihat respon ayah ketika mendapat kejutan ini.
Dan,
hari ini, tertanggal 6 Januari 2014, hari yang kami semua nantikan. Seperti
biasa, ayah berangkat kerja sambil mengantarku dan kakak ke sekolah. Ibu tetap
tinggal di rumah. Selama perjalanan ke sekolah, aku dn kakakku tak
henti-hentinya menahan senyum berlebihan kami.
“kenapa
kalian senyum-senyum terus begitu?” tanya ayah dari balik kemudi. Aku dan
kakakku diam sejenak.
“ah
ayah, ini sih urusan anak muda.” Kami lalu tertawa kecil. Ayah hanya
memperhatikan dengan aneh. Bingung akan tingkah kami.
Ah,
ayah. Dia tak menyangka apa yang akan menimpanya hari ini.
***
“Ibu,
sudah masak sayur sop?” Ibu hanya mengangguk lucu.
Dengan
tergesa aku berlarian ke dapur dan memastikan semuanya siap. Mengecek makanan
yang telah dimasak oleh ibu (kesemuanya adalah masakan favorit ayah), menata
ruangan. Menyiapkan kado-kado.
Ayah
akan pulang jam 04.00 seperti biasa. Tapi waktu serasa lebih lama dari
biasanya. Aku telah bersiap dan wangi. Begitu juga ibu dan kakak. Kami memakai
baju terbaik kami dan duduk di sofa ruang tamu dengan manisnya menunggu
kepulangan ayah.
Jam
dinding telah menunjuk angka 04.00 dengan angkuhnya. Tetapi deru mobil ayah tak
kedengaran. Kami masih menanti di ruang tamu. Mungkin ayah terjebak macet.
Menit
demi menit telah berjalan. Tapi tanda-tanda kepulangan ayah tak tampak sama
sekali. Ibu sangat khawatir sekali. Terlebih waktu telah menunjukkan pukul
05.45 dan kami sudah bosan duduk dengan manis di sofa.
Apakah
ayah pulang larut malam hari ini?
Sekarang,
matahari telah berpaling. Senja. Ibu bertambah khawatir. Berulangkali beliau
menelfon ayah tapi selalu tak ada hasil. Barangkali ayah sedang dalam
perjalanan, jadi tak mendengar dering telepon, pikirku positif.
Sekian
lama, ayah seperti menghilang. Aku dan kakakku sudah tak tahan duduk di sofa.
Kami semua berjalan mondar-mandir sepanjang ruangan. Memikirkan alasan logis
kenapa ayah tidak pulang tepat waktu malam ini.
Selama
kami mondar-mandir, tiba-tiba pintu diketuk. Itu pasti ayah!
Kami
semua seketika gembira. Ibu lalu bersiap-siap membuka pintu sementara aku dan
kakakku menyanyikan lagu ulangtahun.
CKLEK!
Seketika lagu ulangtahun mengalir riang dari bibirku dan kakakku. Dan ketika
aku membuka mataku, yang kulihat bukan sosok ayah. Lagu ulangtahun yang kami
nyanyikan seketika lenyap.
Di
depan kami bukanlah ayah. Dia lelaki berseragam polisi. Ada apa seorang polisi
ke rumahku?
“ini
benar rumah Bapak Santoso?” tanya polisi itu ramah. Tapi jelas, dari nada
suaranya polisi itu sangat letih.
“iya,
saya istrinya.” Ibuku angkat bicara. Aku dan kakakku hanya terdiam.
“ibu,
saya ingin memberitahu perihal penting tentang Bapak Santoso.” Polisi itu
kelihatan sedikit gelisah.
“iya?”
kami bertiga menyahut serempak dengan muka bertambah bingung.
“Bapak
Santoso mengalami kecelakaan di tol. Dan meninggal dunia. Jenazahnya masih di
RSU. Mohon kalian semua ikut kami.”
Seketika
kami semua tercekat dan lemas. Ibuku tak sadarkan diri. Kami semua kebingungan.
Oh, ayah. Inikah yang terjadi
padamu hari ini...
*The End*
By : Firdinny Nurun Hapsari
0 komentar:
Posting Komentar