(ini aku bikin cerpen ini waktu ada event lomba cerpen online gitudeh, cuman disuruh 2 lembar, dan bertema LDR. karena aku nggak tau apa itu LDR, jadi bikinnya ngasal, jelek, nggak ketata, dan nggak menang -_-)
Namaku Azura. Kata Ibuku, Azura berarti
langit biru. Bagus kan? Tapi sebagian
besar teman
mengejekku. Kata mereka, nama itu tak pantas kusandang. Mereka berpikiran, aku
terlalu cerewet untuk diibaratkan
sebagai langit biru yang
tenang. Sial.
Hidupku?
Jangan tanya. Hidupku sama dengan gadis remaja 15 tahun kebanyakan. Nilai
standart, orangtua yang terkadang cerewet menuntut ini dan itu, pekerjaan rumah
yang jarang sekali selesai, dan dikelilingi teman-teman yang luar biasa : luar
biasa hebohnya, dan yang lebih penting lagi, aku cewek normal. Eh, ralat : aku punya
cowok, hihi :D
Oke, kalian
memang kepo. Aku kasih tahu ya, dia itu berbeda 180° denganku. Dia keren, rajin,
dikenal banyak guru, dan lebih suka nongkrong di perpus daripada kantin. (baca
: belajar). Oke, ini bagian terpenting, namanya Arial.
***
Bel
sekolah sudah sedari tadi berteriak-teriak menuntut murid yang terlambat datang
untuk segera berlari. Beruntung aku sampai di kelas lebih dulu daripada bunyi
bel. Dengan jantung terpacu akibat lari dari gerbang menuju kelas, tentunya.
Selesai
meletakkan tasku sembarangan, aku menghampiri bangku temanku. Arial tak
kelihatan. Dari beberapa minggu yang lalu ia sibuk mengurus program pertukaran
pelajar yang diikutnya. Dan aku kesepian.
“maaf
bu, saya terlambat. Baru saja menyelesaikan urusan di ruang guru.” Sebentuk
suara sarat kesopanan menyusup ketika guru kami baru akan mengakhiri pelajaran
kimia.
Itu
Arial. Setelah Bu Asti, guru kimia kami, menyilahkannya untuk duduk, dia
langsung mengambil tempat di sebelahku. Tempat ia biasa duduk.
“eh,
gimana?” bisikku ketika dia baru saja duduk. Dia hanya menjawab dengan kode
tangan ‘ok’. Dan setelahnya, pelajaran matematika berjalan membosankan seperti
biasa.
Hari
berlari tanpa pernah aku sadari. Tahu-tahu, waktu membawaku pada hari Senin, 12
Mei 2014. Hari yang sangat terik untuk upacara bendera.
Berlama-lama
kami berdiri guna menghormati jasa para pahlawan, terkadang kami tertunduk
ketika doa dibacakan dan lagu ‘Mengheningkan Cipta’ didengungkan, dan
sebentar-sebentar kami tersenyum miris ketika Pembina upacara, yang saat itu
Kepala Sekolah kami, mengingatkan kami akan betapa susah diaturnya remaja saat
ini.
Seperti
biasa, kami tidak pernah sekalipun masuk tepat setelah upacara selesai. Selalu
ada saja perihal yang perlu diumumkan. Seperti halnya saat ini.
Guru
Kesiswaan kami, tiba-tiba mengambil mic
dan mengumumkan daftar siswa yang lolos program pertukaran pelajar dan akan
diberangkatkan menuju Eropa selama setahun penuh.
Dalam
hiruk pikuk keramaian siswa yang bersorak-sorak, aku mendengar nama Arial
disebut. Tanpa kusadari, Arial sudah maju ke tengah lapangan bersama siswa yang
lolos program pertukaran pelajar lainnya. Aku tak percaya.
Tepat
ketika jam istirahat baru saja berdering, Arial mengajakku ke taman belakang.
Membicarakan sesuatu, katanya. Aku menurut saja.
“Ra,
kamu denger pengumuman sehabis upacara, kan?” Aku hanya mengangguk.
“kamu
tahu kan itu artinya apaan?” dengan berat hari, aku kembali mengangguk. Tak
tahu harus berkata apa. Tak tahu juga harus senang atau sedih.
“tapi
aku nggak mau, yal.” Ujarku lirih dan tiba-tiba. Aku sendiri kaget aku bisa berkata
seperti itu. Bahkan Arial belum mengutarakan maksudnya mengajakku bicara.
“aku
nggak ngajakin putus. Aku cuma ingin, kamu menunggu.” Aku terdiam. Mencoba
meresapi kata-kata Arial yang menurutku, susah dicerna oleh gadis ber-IQ rendah
sepertiku.
“kita
tetep pacaran kok, Ra. Tetap seperti yang sudah-sudah. Nggak jauh berbeda. Cuma
bedanya, kita nggak bisa saling bertemu. Itu aja. Asal kamu tahu aja, Ra, jarak
bukan penghalang. Jarak itu bisa jadi salah satu bukti kesetian.” Dengan
panjang lebar, Arial menjelaskan padaku, seperti diawal penbicaraan tadi, aku
masih tak tahu harus sedih atau gembira mendengar berita ini.
Tapi aku kembali berpikir, ada
kebenaran ditiap kalimat yang dilontarkan Arial. “Iya, aku bakalan menunggu
kamu kok. Seperti kata kamu, nothing’s
change.”
Seketika senyum dibibir Arial. Aku
juga ikut tersenyum. Pembicaraan kita berlari dari topik sebelumnya menjadi
topik yang lebih menyenangkan seperti kelakuan-kelakuan teman sekelas kita yang
aneh ketika pelajaran dimulai dan lain sebagainya.
Dan tanpa terasa, bel tanda
istirahat berakhir berbunyi. Kami berjalan beriringan menuju kelas. Dalam
perjalanan singkat itu, aku kembali merenungi kata-kata Arial. Arial benar, tak
ada yang ditakutkan dari sebuah long
distance relationship. Selama kita bisa menjaga kepercayaan masing-masing,
tak ada yang berubah. Aku tetap mencintainya, dia tetap mencintaiku. Dan
setahun tak bertemu tak akan benar-benar memisakhan kita. Kini aku yakin itu. it don’t scares me anymore.
By : Firdinny Nurun Hapsari
0 komentar:
Posting Komentar