Jumat, 04 Juli 2014

Cerpen : Arial = Menunggu

Diposting oleh Unknown di 21.25
(ini aku bikin cerpen ini waktu ada event lomba cerpen online gitudeh, cuman disuruh 2 lembar, dan bertema LDR. karena aku nggak tau apa itu LDR, jadi bikinnya ngasal, jelek, nggak ketata, dan nggak menang -_-)
Namaku Azura. Kata Ibuku, Azura berarti langit biru. Bagus kan? Tapi sebagian besar  teman mengejekku. Kata mereka, nama itu tak pantas kusandang. Mereka berpikiran, aku terlalu cerewet untuk diibaratkan sebagai langit biru yang tenang. Sial.
            Hidupku? Jangan tanya. Hidupku sama dengan gadis remaja 15 tahun kebanyakan. Nilai standart, orangtua yang terkadang cerewet menuntut ini dan itu, pekerjaan rumah yang jarang sekali selesai, dan dikelilingi teman-teman yang luar biasa : luar biasa hebohnya, dan yang lebih penting lagi, aku cewek normal. Eh, ralat : aku punya cowok, hihi :D
            Oke, kalian memang kepo. Aku kasih tahu ya, dia itu berbeda 180° denganku. Dia keren, rajin, dikenal banyak guru, dan lebih suka nongkrong di perpus daripada kantin. (baca : belajar). Oke, ini bagian terpenting, namanya Arial.
***
            Bel sekolah sudah sedari tadi berteriak-teriak menuntut murid yang terlambat datang untuk segera berlari. Beruntung aku sampai di kelas lebih dulu daripada bunyi bel. Dengan jantung terpacu akibat lari dari gerbang menuju kelas, tentunya.
            Selesai meletakkan tasku sembarangan, aku menghampiri bangku temanku. Arial tak kelihatan. Dari beberapa minggu yang lalu ia sibuk mengurus program pertukaran pelajar yang diikutnya. Dan aku kesepian.
            “maaf bu, saya terlambat. Baru saja menyelesaikan urusan di ruang guru.” Sebentuk suara sarat kesopanan menyusup ketika guru kami baru akan mengakhiri pelajaran kimia.
            Itu Arial. Setelah Bu Asti, guru kimia kami, menyilahkannya untuk duduk, dia langsung mengambil tempat di sebelahku. Tempat ia biasa duduk.
            “eh, gimana?” bisikku ketika dia baru saja duduk. Dia hanya menjawab dengan kode tangan ‘ok’. Dan setelahnya, pelajaran matematika berjalan membosankan seperti biasa.
            Hari berlari tanpa pernah aku sadari. Tahu-tahu, waktu membawaku pada hari Senin, 12 Mei 2014. Hari yang sangat terik untuk upacara bendera.
            Berlama-lama kami berdiri guna menghormati jasa para pahlawan, terkadang kami tertunduk ketika doa dibacakan dan lagu ‘Mengheningkan Cipta’ didengungkan, dan sebentar-sebentar kami tersenyum miris ketika Pembina upacara, yang saat itu Kepala Sekolah kami, mengingatkan kami akan betapa susah diaturnya remaja saat ini.
            Seperti biasa, kami tidak pernah sekalipun masuk tepat setelah upacara selesai. Selalu ada saja perihal yang perlu diumumkan. Seperti halnya saat ini.
            Guru Kesiswaan kami, tiba-tiba mengambil mic dan mengumumkan daftar siswa yang lolos program pertukaran pelajar dan akan diberangkatkan menuju Eropa selama setahun penuh.
            Dalam hiruk pikuk keramaian siswa yang bersorak-sorak, aku mendengar nama Arial disebut. Tanpa kusadari, Arial sudah maju ke tengah lapangan bersama siswa yang lolos program pertukaran pelajar lainnya. Aku tak percaya.
            Tepat ketika jam istirahat baru saja berdering, Arial mengajakku ke taman belakang. Membicarakan sesuatu, katanya. Aku menurut saja.
            “Ra, kamu denger pengumuman sehabis upacara, kan?” Aku hanya mengangguk.
            “kamu tahu kan itu artinya apaan?” dengan berat hari, aku kembali mengangguk. Tak tahu harus berkata apa. Tak tahu juga harus senang atau sedih.
            “tapi aku nggak mau, yal.” Ujarku lirih dan tiba-tiba. Aku sendiri kaget aku bisa berkata seperti itu. Bahkan Arial belum mengutarakan maksudnya mengajakku bicara.
            “aku nggak ngajakin putus. Aku cuma ingin, kamu menunggu.” Aku terdiam. Mencoba meresapi kata-kata Arial yang menurutku, susah dicerna oleh gadis ber-IQ rendah sepertiku.
            “kita tetep pacaran kok, Ra. Tetap seperti yang sudah-sudah. Nggak jauh berbeda. Cuma bedanya, kita nggak bisa saling bertemu. Itu aja. Asal kamu tahu aja, Ra, jarak bukan penghalang. Jarak itu bisa jadi salah satu bukti kesetian.” Dengan panjang lebar, Arial menjelaskan padaku, seperti diawal penbicaraan tadi, aku masih tak tahu harus sedih atau gembira mendengar berita ini.
            Tapi aku kembali berpikir, ada kebenaran ditiap kalimat yang dilontarkan Arial. “Iya, aku bakalan menunggu kamu kok. Seperti kata kamu, nothing’s change.”
            Seketika senyum dibibir Arial. Aku juga ikut tersenyum. Pembicaraan kita berlari dari topik sebelumnya menjadi topik yang lebih menyenangkan seperti kelakuan-kelakuan teman sekelas kita yang aneh ketika pelajaran dimulai dan lain sebagainya.

            Dan tanpa terasa, bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Kami berjalan beriringan menuju kelas. Dalam perjalanan singkat itu, aku kembali merenungi kata-kata Arial. Arial benar, tak ada yang ditakutkan dari sebuah long distance relationship. Selama kita bisa menjaga kepercayaan masing-masing, tak ada yang berubah. Aku tetap mencintainya, dia tetap mencintaiku. Dan setahun tak bertemu tak akan benar-benar memisakhan kita. Kini aku yakin itu. it don’t scares me anymore.

By : Firdinny Nurun Hapsari

0 komentar:

Posting Komentar

 

Firdinny Hapsari Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos