Jumat, 04 Juli 2014

Cerpen : Tembak Dia

Diposting oleh Unknown di 20.55
(ini aku tulis karena waktu itu aku lagi mager dan ansos banget. jadi maaf kalo agak yah, geje.)

Sudah beberapa bulan terakhir ini Riris selalu bercerita tentang kakak kelas yang jadi gebetannya itu. aku bahkan bingung kenapa harus kakak kelas itu yang ditaksir Riris. Bukan apa-apa ya, kalau kamu tahu kakak kelas itu seperti apa, kamu juga bisa mati berdiri dibuatnya!
Oke, oke, aku ceritakan. Namanya Raka. Ia tak pernah mendapat predikat baik dari semua guru. Namanya sudah berjejalan di ‘buku hitam’ Bu Sistin, guru BK kami. Namanya berada di urutan paling bawah ketika kenaikan kelas (itupun seharusnya ia tak naik). Paling jago dalam hal adu tawuran dengan sekolah lain. Bahkan, ia pernah diciduk polisi gara-gara terlibat tawuran dengan sekolah sebelah.
Intinya, Raka nggak bisa dibanggakan. Nggak bisa jadi patokan cowok idaman!
“Nis, Nis. Itu Raka lagi main basket. cool deh!” ya, kami sedang duduk di bangku kantin paling ujung untuk melihat gerak-gerik Raka yang menyebalkan itu. Riris yang memaksaku. Bahkan, ia sampai mentraktirku makan siang ‘hanya’ supaya aku menemaninya. Demi. Melihat. Raka.
“Ris, kenapa sih kamu harus suka sama seorang Raka. Kenapa nggak coba suka sama orang lain aja, kenapa harus Raka, Raka itu nggak ada apa-apanya kali, Ris.”
Riris seketika kaget dengan omonganku. Dia lalu menatapku seperti aku adalah spesies langka yang baru ditemuinya siang ini.
Hello, Nisa sayang, kalo aku suka Raka. So what gitu?” aduh, Riris tidak menangkap semua tanda yang tersirat dari omonganku ternyata.
“Ya, salah banget itu. jelas-jelas nggak ada yang dibanggain dari Raka.”
“oke, Nis, sepertinya kamu perlu memahami sesuatu deh, kalo suka, kan nggak butuh alasan. Ya aku suka aja gitu sama Raka.” Kata Riris sambil menyesap es jeruknya. Santai. Seperti ia tak melakukan hal yang berdampak besar sama sekali.
Oke, aku menyerah dengan Riris. Suka-suka dialah.
***
Pagi yang cerah seperti biasa. 06.50. aku baru saja meletakkan tasku dimeja setelah aku mendengar teriakan khas Riris. Sepertinya pertanda buruk.
“Nisaaaa. Tau nggak, seminggu lagi Raka ulang tahun!”
“enggak.”
“ih, Nisa kok gitu ..”
“lah, emang aku nggak tau.” Potongku cepat.
“pokoknya kamu harus temenin aku cari kado sepulang sekolah.” Dengan manja, Riris menggelayut di lenganku. Oke, jika kamu melihatnya, tolong jangan berpikir macam-macam tentang kita. Aku dan Riris bukan pasangan lesbian. Dibilang lesbian saja sudah menyakitkan, apalagi dengan Riris yang centil ini!
“nggak bisa, kakak aku mau lahiran nih, jadi aku pulang sekolah ke rumah sakit.” Oke aku tahu ini ngarang banget.
“sejak kapan kamu punya kakak?” Riris yang pintar-pintar-bodoh ini pun jadi curiga.
“kakak sepupu, Ris.”
“alah, nggak peduli. Pokoknya kamu harus mementingkan kepentinganku. Titik!” dengan egoisnya Riris meninggalkanku sebelum aku sempat mencerna habis kata-katanya. Dasar centil!
Walaupun aku izin sebentar untuk mengikuti ekskul. Riris tetap menungguku. Keinginannya sudah tak bisa dibelokkan lagi. Dan lebih pentingnya lagi, kecintaanya pada Raka sudah sampai stadium empat. Parah.
“Ris, emang Raka suka apa?” tanyaku sembari masuk ke sebuah outlet yang dengan pedenya ditunjuk Riris.
“Raka tiap jum’at sama minggu main futsal. Jadi tentunya dia suka bola dong, makanya ini aku mau ngadoin jersey tim bola favoritnya.”
“emang kamu tau cara ngasih kadonya?” tanyaku yang sedang membenamkan diri kedalam lautan jersey.
“nggak tau.” Jawab Riris polos. “ah, itu mah pikir belakangan.” Sahut Riris yang seketika kembali ceria. Riris memang aneh.
Selesai memilih kado, yaitu jersey merah tim bola favorit Raka, aku langsung kembali ke rumah. Tapi kali ini, Riris mengikuti.
Ya, dengan santainya ia menjadikan kamarku sebagai markas untuk menjalankan misinya. Ia membungkus kado di kamarku. Mengobrak-abrik seluruh barangku yang susah-susah kususun. Dan yang paling menyebalkan, ia menjarah jatah makanku. Oh tidak, hentikan semua kegilaan ini!
“Nis, liat deh. Rapi ya ngebungkusnya, sepenuh hati, nih!” kata Riris manja sembari memamerkan kotak kado tepat di depan mukaku.
“kok hijau sih, jelek tau. Bagusan juga biru.” Kataku tak peduli. Aku harus kembali menyusun barangku yang sedari tadi diobrak-abrik Riris dengan riangnya.
“yaelah, Nis, Raka sukanya hijau lagi.”
Aku lalu terdiam. Begitu besar perasaan Riris kepada Raka. Tapi mirisnya, Raka tak pernah tahu. Semua usaha Riris begitu sia-sia. Kasihan dia, meskipun dia centil dan cerewet, tapi dia sahabatku. Aku harus melakukan sesuatu, pikirku dalam diam.
“Nisa, bantuin aku, ya.” Riris ceria saja mengatakan hal itu setelah ia berhasil duduk dibangku sebelahku. Aku hanya mengangguk.
Hari ini. Riris. Akan. Memberi. Raka. Kado.
Yah, tidak memberi dalam artian nyata. Kami cukup meletakkan kadonya diloker Raka yang tak pernah terkunci.
Siang ini, Saat bel istirahat baru saja berbunyi, aku dan Riris bergegas ke deret loker kelas tiga. Riris terlihat gugup sekali.
“Ris, kamu aja yang masukin. Aku lihat-lihat keadaan. Barangkali ada yang lewat.” Riris menyanggupi dalam diam.
Jadi, disinilah kami. Dua anak cewek kelas satu diantara deret loker kelas tiga. Satu cewek memasukkan sesuatu ke dalam loker dengan penuh ketegangan. Satunya lagi menyender di loker paling ujung dengan wajah penuh curiga.
Kado selesai diletakkan dengan rapi. Ekspresi Riris jadi tegang-tegang-riang. Dengan santainya dia menggandengku menuju kantin dan menraktirku makan siang, lagi.
Sepulang sekolah, aku menjalankan misi muliaku. Diam-diam kuikuti Raka yang setiap hari pulang berjalan kaki. Sebisa mungkin aku menjaga jarak darinya. Aku tau Raka punya insting yang baik.
Jalan menuju rumahnya berkelok-kelok. Aku tetap jauh dibelakangnya, dan Raka tetap berjalan santai di depan. Aku yakin dia tidak tahu keberadaanku.
Semakin lama, semakin banyak belokan dan tikungan yang dilewati. Aku sampai berfikir bahwa aku tersesat. Tapi aku masih bisa melihat Raka di depan sana. Jadi aku percaya saja dan tetap berjalan.
BRUK!
Aku ketahuan! Perasaan Raka masih jauh di depanku. Tahu-tahu aku berjalan dan menabraknya. Dengan posisi saling berhadapan! Sial, Raka tahu!
“kamu, anak kecil, ngapain ikutin aku?” sambil terus menatapi muka gelisahku, Raka menghardikku pelan.
“eh, gini kak, kakak tau aku kan?”
“iya. Anak kelas satu kan?” oke, sekarang aku merasa ketakutan setengah hidup! “terus ngapain ngikutin?”
“eh, anu, itu kak, tau temen aku namanya Riris?”
Raka terdiam sejenak. Seperti menimbang sesuatu dalam angan.
“anak kelas sepuluh juga kan?”
“iya. Yang selalu bareng sama aku,”
“iya, tau. Kenapa, emang dia nyuruh kamu ngebuntutin kakak kelasnya, nggak sopan banget.” Belum-belum Raka sudah memberi penilaian buruk terhadap Riris.
“bukan.”
“terus?”
“kak, masa kakak nggak sadar sih, selama ini Riris pingin ditembak sama kakak.” Satu.. dua.. tiga..
“terus?” tak kusangka hanya itu respon dari Raka.
“ya, aku mohon dengan sangat kakak tembak dia. Riris udah nggak sabar menerima itu semua. Riris udah lama menunggu kapan waktu itu bakal datang.”
“yakin ini saat yang tepat?” aku sungguh tak menyangka ternyata Raka cukup kooperatif dan mengerti perasaan perempuan. Aku tak memperkirakan kemungkinan ini sebelumnya.
“aku yakin seratus persen, kak.” Jawabku mantap.
Lalu dia berjalan meninggalkanku. Cuek. Tapi tak apa, misiku telah terlaksana dengan sangat sempurna! Akupun kembali.
“eh tunggu, dari mana kamu tau kalo aku punya senjata itu?”
Aku seketika berbalik. “maksud kakak?”
Raka langsung terdiam. “lupakan.” Dan dia berjalan pulang. Tak jadi mengutarakan sesuatu.
***
Hari ini, senin ke tujuh bulan april yang hangat. Akan ada peristiwa paling penting yang akan kuingat sepanjang masa.
Raka. Akan. Menembak. Riris.
Hihihi, aku tak sabar melihat peristiwa penting itu. aku tak menyangka pengorbanan Riris yang begitu besar akan dibalas setimpal. Aku jadi ikut bahagia.
Hari ini, tentu saja upacara bendera. Aku yakin, Raka akan menembak Riris begitu upacara selesai. Aku tahu seberapa gentle Raka. Menembak cewek dihadapan guru paling killer sekalipun dia berani.
Upacara di sudah setengah jalan. Tapi sial, pandanganku berkunang-kunang. Ini kan hari penting. Kenapa aku bisa sakit seperti ini? Tiba-tiba seluruh pandanganku menghitam.
DOR!
Seketika aku terbangun oleh suara tembakan yang cukup keras. Aku sedang terbangun di UKS. Aku ingat aku meninggalkan sarapan tadi pagi.
Aku jadi penasaran apakah Raka sudah menembak Riris? Aku jadi penasaran bagaimana detailnya.
Tiba-tiba pintu UKS dibuka dengan tergesa. Segerombol petugas jaga UKS bermuka panik masuk dan menggotong seorang gadis. Gadis itu lalu dibaringkan disebelahku.
Begitu kuamati wajahnya, itu Riris! Yang lebih mengejutkan, seragam putihnya penuh noda darah. Dengan spontan aku berjingkat. Kenapa?
“Riris, Riris, kenapa bisa kayak gini?” sambil menahan tangis di pelupuk, aku mencoba memeluknya.
“Raka akhirnya nembak aku, Nis” ujarnya susah payah. Aku lihat senyum kecut menghiasi wajahnya yang berpeluh.
Aku lalu diam. Tak mengerti jalan cerita kesemuanya.
“tapi Raka bukan nembak ngutarain cinta, tapi dia nembak pake shoutgun.”
Mata Riris seketika terpejam. Dengan tergopoh-gopoh, guru-guru menggotong tubuhnya untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. Semua panik.
Aku hanya terdiam di UKS. Aku menangis. Kenapa semua jadi salah seperti ini?
RAKAA BODOOOOOOH!
*The End*


 by : Firdinny Nurun Hapsari 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Firdinny Hapsari Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos