Sudah beberapa bulan
terakhir ini Riris selalu bercerita tentang kakak kelas yang jadi gebetannya
itu. aku bahkan bingung kenapa harus kakak kelas itu yang ditaksir Riris. Bukan
apa-apa ya, kalau kamu tahu kakak kelas itu seperti apa, kamu juga bisa mati
berdiri dibuatnya!
Oke, oke, aku
ceritakan. Namanya Raka. Ia tak pernah mendapat predikat baik dari semua guru.
Namanya sudah berjejalan di ‘buku hitam’ Bu Sistin, guru BK kami. Namanya
berada di urutan paling bawah ketika kenaikan kelas (itupun seharusnya ia tak
naik). Paling jago dalam hal adu tawuran dengan sekolah lain. Bahkan, ia pernah
diciduk polisi gara-gara terlibat tawuran dengan sekolah sebelah.
Intinya, Raka nggak
bisa dibanggakan. Nggak bisa jadi patokan cowok idaman!
“Nis, Nis. Itu Raka
lagi main basket. cool deh!” ya, kami
sedang duduk di bangku kantin paling ujung untuk melihat gerak-gerik Raka yang
menyebalkan itu. Riris yang memaksaku. Bahkan, ia sampai mentraktirku makan
siang ‘hanya’ supaya aku menemaninya. Demi. Melihat. Raka.
“Ris, kenapa sih kamu
harus suka sama seorang Raka. Kenapa nggak coba suka sama orang lain aja,
kenapa harus Raka, Raka itu nggak ada apa-apanya kali, Ris.”
Riris seketika kaget
dengan omonganku. Dia lalu menatapku seperti aku adalah spesies langka yang
baru ditemuinya siang ini.
“Hello, Nisa sayang, kalo aku suka Raka. So what gitu?” aduh, Riris tidak menangkap semua tanda yang tersirat
dari omonganku ternyata.
“Ya, salah banget itu.
jelas-jelas nggak ada yang dibanggain dari Raka.”
“oke, Nis, sepertinya
kamu perlu memahami sesuatu deh, kalo suka, kan nggak butuh alasan. Ya aku suka
aja gitu sama Raka.” Kata Riris sambil menyesap es jeruknya. Santai. Seperti ia
tak melakukan hal yang berdampak besar sama sekali.
Oke, aku menyerah
dengan Riris. Suka-suka dialah.
***
Pagi yang cerah seperti
biasa. 06.50. aku baru saja meletakkan tasku dimeja setelah aku mendengar
teriakan khas Riris. Sepertinya pertanda buruk.
“Nisaaaa. Tau nggak,
seminggu lagi Raka ulang tahun!”
“enggak.”
“ih, Nisa kok gitu ..”
“lah, emang aku nggak
tau.” Potongku cepat.
“pokoknya kamu harus
temenin aku cari kado sepulang sekolah.” Dengan manja, Riris menggelayut di lenganku.
Oke, jika kamu melihatnya, tolong jangan berpikir macam-macam tentang kita. Aku
dan Riris bukan pasangan lesbian. Dibilang lesbian saja sudah menyakitkan,
apalagi dengan Riris yang centil ini!
“nggak bisa, kakak aku
mau lahiran nih, jadi aku pulang sekolah ke rumah sakit.” Oke aku tahu ini
ngarang banget.
“sejak kapan kamu punya
kakak?” Riris yang pintar-pintar-bodoh ini pun jadi curiga.
“kakak sepupu, Ris.”
“alah, nggak peduli.
Pokoknya kamu harus mementingkan kepentinganku. Titik!” dengan egoisnya Riris
meninggalkanku sebelum aku sempat mencerna habis kata-katanya. Dasar centil!
Walaupun aku izin
sebentar untuk mengikuti ekskul. Riris tetap menungguku. Keinginannya sudah tak
bisa dibelokkan lagi. Dan lebih pentingnya lagi, kecintaanya pada Raka sudah
sampai stadium empat. Parah.
“Ris, emang Raka suka
apa?” tanyaku sembari masuk ke sebuah outlet yang dengan pedenya ditunjuk
Riris.
“Raka tiap jum’at sama
minggu main futsal. Jadi tentunya dia suka bola dong, makanya ini aku mau
ngadoin jersey tim bola favoritnya.”
“emang kamu tau cara
ngasih kadonya?” tanyaku yang sedang membenamkan diri kedalam lautan jersey.
“nggak tau.” Jawab
Riris polos. “ah, itu mah pikir
belakangan.” Sahut Riris yang seketika kembali ceria. Riris memang aneh.
Selesai memilih kado,
yaitu jersey merah tim bola favorit Raka, aku langsung kembali ke rumah. Tapi
kali ini, Riris mengikuti.
Ya, dengan santainya ia
menjadikan kamarku sebagai markas untuk menjalankan misinya. Ia membungkus kado
di kamarku. Mengobrak-abrik seluruh barangku yang susah-susah kususun. Dan yang
paling menyebalkan, ia menjarah jatah makanku. Oh tidak, hentikan semua
kegilaan ini!
“Nis, liat deh. Rapi ya
ngebungkusnya, sepenuh hati, nih!” kata Riris manja sembari memamerkan kotak
kado tepat di depan mukaku.
“kok hijau sih, jelek
tau. Bagusan juga biru.” Kataku tak peduli. Aku harus kembali menyusun barangku
yang sedari tadi diobrak-abrik Riris dengan riangnya.
“yaelah, Nis, Raka
sukanya hijau lagi.”
Aku lalu terdiam.
Begitu besar perasaan Riris kepada Raka. Tapi mirisnya, Raka tak pernah tahu.
Semua usaha Riris begitu sia-sia. Kasihan dia, meskipun dia centil dan cerewet,
tapi dia sahabatku. Aku harus melakukan sesuatu, pikirku dalam diam.
“Nisa, bantuin aku,
ya.” Riris ceria saja mengatakan hal itu setelah ia berhasil duduk dibangku
sebelahku. Aku hanya mengangguk.
Hari ini. Riris. Akan.
Memberi. Raka. Kado.
Yah, tidak memberi
dalam artian nyata. Kami cukup meletakkan kadonya diloker Raka yang tak pernah
terkunci.
Siang ini, Saat bel
istirahat baru saja berbunyi, aku dan Riris bergegas ke deret loker kelas tiga.
Riris terlihat gugup sekali.
“Ris, kamu aja yang
masukin. Aku lihat-lihat keadaan. Barangkali ada yang lewat.” Riris menyanggupi
dalam diam.
Jadi, disinilah kami.
Dua anak cewek kelas satu diantara deret loker kelas tiga. Satu cewek
memasukkan sesuatu ke dalam loker dengan penuh ketegangan. Satunya lagi
menyender di loker paling ujung dengan wajah penuh curiga.
Kado selesai diletakkan
dengan rapi. Ekspresi Riris jadi tegang-tegang-riang. Dengan santainya dia
menggandengku menuju kantin dan menraktirku makan siang, lagi.
Sepulang sekolah, aku
menjalankan misi muliaku. Diam-diam kuikuti Raka yang setiap hari pulang
berjalan kaki. Sebisa mungkin aku menjaga jarak darinya. Aku tau Raka punya
insting yang baik.
Jalan menuju rumahnya
berkelok-kelok. Aku tetap jauh dibelakangnya, dan Raka tetap berjalan santai di
depan. Aku yakin dia tidak tahu keberadaanku.
Semakin lama, semakin
banyak belokan dan tikungan yang dilewati. Aku sampai berfikir bahwa aku
tersesat. Tapi aku masih bisa melihat Raka di depan sana. Jadi aku percaya saja
dan tetap berjalan.
BRUK!
Aku ketahuan! Perasaan
Raka masih jauh di depanku. Tahu-tahu aku berjalan dan menabraknya. Dengan
posisi saling berhadapan! Sial, Raka tahu!
“kamu, anak kecil,
ngapain ikutin aku?” sambil terus menatapi muka gelisahku, Raka menghardikku
pelan.
“eh, gini kak, kakak
tau aku kan?”
“iya. Anak kelas satu
kan?” oke, sekarang aku merasa ketakutan setengah hidup! “terus ngapain
ngikutin?”
“eh, anu, itu kak, tau
temen aku namanya Riris?”
Raka terdiam sejenak. Seperti
menimbang sesuatu dalam angan.
“anak kelas sepuluh
juga kan?”
“iya. Yang selalu
bareng sama aku,”
“iya, tau. Kenapa,
emang dia nyuruh kamu ngebuntutin kakak kelasnya, nggak sopan banget.”
Belum-belum Raka sudah memberi penilaian buruk terhadap Riris.
“bukan.”
“terus?”
“kak, masa kakak nggak
sadar sih, selama ini Riris pingin ditembak sama kakak.” Satu.. dua.. tiga..
“terus?” tak kusangka
hanya itu respon dari Raka.
“ya, aku mohon dengan
sangat kakak tembak dia. Riris udah nggak sabar menerima itu semua. Riris udah
lama menunggu kapan waktu itu bakal datang.”
“yakin ini saat yang
tepat?” aku sungguh tak menyangka ternyata Raka cukup kooperatif dan mengerti
perasaan perempuan. Aku tak memperkirakan kemungkinan ini sebelumnya.
“aku yakin seratus
persen, kak.” Jawabku mantap.
Lalu dia berjalan
meninggalkanku. Cuek. Tapi tak apa, misiku telah terlaksana dengan sangat
sempurna! Akupun kembali.
“eh tunggu, dari mana
kamu tau kalo aku punya senjata itu?”
Aku seketika berbalik.
“maksud kakak?”
Raka langsung terdiam.
“lupakan.” Dan dia berjalan pulang. Tak jadi mengutarakan sesuatu.
***
Hari ini, senin ke tujuh
bulan april yang hangat. Akan ada peristiwa paling penting yang akan kuingat
sepanjang masa.
Raka. Akan. Menembak.
Riris.
Hihihi, aku tak sabar
melihat peristiwa penting itu. aku tak menyangka pengorbanan Riris yang begitu
besar akan dibalas setimpal. Aku jadi ikut bahagia.
Hari ini, tentu saja
upacara bendera. Aku yakin, Raka akan menembak Riris begitu upacara selesai.
Aku tahu seberapa gentle Raka.
Menembak cewek dihadapan guru paling killer
sekalipun dia berani.
Upacara di sudah setengah
jalan. Tapi sial, pandanganku berkunang-kunang. Ini kan hari penting. Kenapa
aku bisa sakit seperti ini? Tiba-tiba seluruh pandanganku menghitam.
DOR!
Seketika aku terbangun
oleh suara tembakan yang cukup keras. Aku sedang terbangun di UKS. Aku ingat
aku meninggalkan sarapan tadi pagi.
Aku jadi penasaran
apakah Raka sudah menembak Riris? Aku jadi penasaran bagaimana detailnya.
Tiba-tiba pintu UKS
dibuka dengan tergesa. Segerombol petugas jaga UKS bermuka panik masuk dan
menggotong seorang gadis. Gadis itu lalu dibaringkan disebelahku.
Begitu kuamati
wajahnya, itu Riris! Yang lebih mengejutkan, seragam putihnya penuh noda darah.
Dengan spontan aku berjingkat. Kenapa?
“Riris, Riris, kenapa
bisa kayak gini?” sambil menahan tangis di pelupuk, aku mencoba memeluknya.
“Raka akhirnya nembak
aku, Nis” ujarnya susah payah. Aku lihat senyum kecut menghiasi wajahnya yang
berpeluh.
Aku lalu diam. Tak
mengerti jalan cerita kesemuanya.
“tapi Raka bukan nembak
ngutarain cinta, tapi dia nembak pake shoutgun.”
Mata Riris seketika
terpejam. Dengan tergopoh-gopoh, guru-guru menggotong tubuhnya untuk dibawa ke
rumah sakit terdekat. Semua panik.
Aku hanya terdiam di
UKS. Aku menangis. Kenapa semua jadi salah seperti ini?
RAKAA BODOOOOOOH!
*The End*
by : Firdinny Nurun Hapsari
0 komentar:
Posting Komentar